Oleh : Al-Ustadz ‘Abdul Barr
Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh,
Pada beberapa wanita
sering mengalami yang disebut dengan keputihan,yaitu cairan yang keluar dari
lubang vagina milik seorang wanita. Secara medis hal ini dapat sebagai tanda
suatu penyakit keganasan pada kelamin wanita (jika keluar berlebihan) tapi
dapat juga terjadi pada wanita normal (bukan suatu kelainan/fisiologis)
misalnya saat sebelum atau sesudah menstruasi atau saat kondisi tubuh terlalu
kecapekan. Ana mau tanya apakah hukum dari keputihan itu? Apakah keputihan
najis atau tidak? Apakah sampai diharuskan melepas celana dalam saat sholat?
Ana mohon penjelasannya… Syukron jazakumullahu khayran
Jawab:
Wassalamu’alaykum
warohmatullahi wabarokatuh
Berikut ini adalah
jawaban dari Al-Ustadz ‘Abdul Barr hafizhahullaahu tentang permasalahan
keputihan: Keputihan itu membatalkan wudhu’. Cara menyucikannya dengan
membersihkan badan dan pakaian yang terkena keputihan tersebut, kemudian
berwudhu’. Jika ia tetap keluar, maka diberi keringanan akan hal tersebut.
Demikian dari Al-Ustadz ‘Abdul Barr. Wa iyyaakum wa baarakallaahu fiikum.
Sumber: via email
dari Milis AkhwatusSalafiyah, Ummu Muhammad Hasna fii Ternate, Maluku Utara
—————————————-
Oleh: Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullaahu
Syaikh Muhammad
Shalih Al-‘Utsaimin ditanya:
Cairan yang keluar
dari wanita, apakah suci atau najis? Dan apakah dia membatalkan wudhu’?Dia
menjawab:
Yang nyata bagi saya
setelah melakukan pembahasan bahwa cairan yang keluar dari perempuan jika ia
tidak keluar dari kandung kencing (kemih) melainkan keluar dari rahim, maka ia
suci, tetapi membatalkan wudhu’ meskipun ia suci. Karena sesuatu yang
membatalkan wudhu tidak disyaratkan najis, seperti angin yang keluar dari dubur
dan ia tidak berupa dzat yang nyata, tetapi ia membatalkan wudhu. Atas dasar
ini, jika ia keluar dari perempuan dalam keadaan dia memiliki wudhu’, maka hal
itu membatalkan wudhu dan dia wajib memperbaharui wudhu’. Jika ia senantiasa
keluar, maka ia tidak membatalkan wudhu, tetapi dia tidak berwudhu’ untuk
shalat kecuali jika waktu shalat telah masuk, dan dia shalat pada waktu
tersebut, shalat wajib atau shalat sunnah, dan dia membaca Al-Qur’an, dan melakukan
sesuatu yang diinginkan dari perkara yang dibolehkan baginya. Sebagaimana ahli
ilmu telah menyatakan seperti ini pada orang yang tidak dapat menahan kencing.
Ini adalah hukum
cairan dari sisi kesucian maka ia suci, tidak menajisi pakaian dan badan.
Adapun hukumnya dari
sisi wudhu, maka ia membatalkan wudhu, kecuali jika senantiasa keluar. Jika
senantiasa keluar maka ia tidak membatalkan wudhu’, tetapi perempuan tersebut
tidak berwudhu untuk shalat kecuali setelah waktu masuk dan dia telah
membentengi cairan yang akan keluar.
Adapun jika keluarnya
terputus-putus, dan kebiasaannya berhenti pada waktu-waktu shalat, maka dia
mengakhirkan shalat sampai waktu dimana cairan itu berhenti, selama tidak
dikhawatirkan waktu shalat keluar (habis), maka dia berwudhu dan membentengi
kemaluan dan shalat, baik cairan itu sedikit ataupun banyak, karena keluar dari
jalan tersebut, maka ia membatalkan baik sedikit maupun banyak.
Adapun keyakinan
sebagian wanita bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu, maka saya tidak mengetahui
asal perkataan itu kecuali perkataan Ibnu Hazm -rahimahullaahu-, sesungguhnya
dia berkata; “ Sesungguhnya hal ini tidak membatalkan wudhu.” Tetapi dia tidak
menyebutkan dalil bagi pendapatnya. Kalau perkataannya memiliki dalil dari
Kitab dan Sunnah atau perkataan shahabat tentu ia menjadi hujjah. Seorang
perempuan wajib takut kepada Allah dan berupaya di atas kesuciannya,
sesungguhnya shalat tidak diterima tanpa bersuci, meskipun dia melakukan shalat
100 kali. Bahkan sebagian ulama berkata: Sesungguhnya orang yang shalat tanpa
bersuci maka dia kafir, karena hal ini bagian dari sikap mengolok-olok ayat
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Dinukil
dari فتاوى المرأة المسلمة كل ما يهم(wanita Bertanya Ulama Menjawab, Kumpulan
Fatwa tentang Wanita I), judul: Hukum Cairan yang Keluar dari Perempuan, hal.
50-51, penyusun: Abu Malik Muhammad bin Hamid bin ‘Abdul Wahhab, penerjemah:
Abu Najiyah Muhaimin, Penerbit: Penerbit An Najiyah Surakarta, cet. ke-1
Muharram 1427H/Februari 2006M, untuk http://almuslimah. co.nr)
Sumber: http://almuslimah.
wordpress. com/2009/ 03/15/hukum- cairan-yang- keluar-dari- farji-kemaluan-
wanita/